RENGGANG (2011)
RENGGANG
Jam bekerku berdering keras sedari
tadi. Berusaha untuk membangunkanku. Aku masih terlelap. Terlelap dalam mimpiku
yang indah. Bahkan sekarang deringannya semakin meredup. Ya, mungkin jam
bekerku sudah putus asa untuk membangunkanku. Sekarang, ibuku memekik
memanggilku. Memekik sangat keras melebihi suara toa di masjid. Aku sontak
terbangun dan tak sengaja melirik jam bekerku.
''Apa? Sudah jam 06.30?'' teriakku
histeris.
Buru-buru aku mandi, lalu bergegas
pergi ke sekolah tanpa sarapan.
Pelajaran pertama hari ini adalah
bahasa Inggris. Gurunya killer. Aku tidak boleh terlambat. Terpaksa
aku berlari dengan cepat. Mengejar waktu.
''Selamat pagi teman-teman,'' sapaku
sambil terengah-enggah.
''kamu kenapa, Nal?'' tanya Dina
heran.
Aku menggeleng. Mataku menerawang
menatap ruang kelas. Tak ada, ternyata Ibu Lisa belum datang ke kelas. Aku
menghela nafas lega, lalu aku langsung meletakkan tasku di meja. Lebih
tepatnya, di sebelah tas teman terbaikku, Dina. Aku mengenal Dina di kelas ini,
kelas X-1. Kami belum lama berteman tapi, aku merasa bahwa kami sudah berteman
cukup lama. Aku sering bercerita padanya. Apalagi bercerita tentang Hamdan,
pria yang kusukai. Kelasnya bersebelahan denganku. Sayangnya, dia tidak
mengenaliku, tapi dia mengenali Dina. Bahkan saking menyukainya, aku
sering menguntitnya di facebook. Tapi .... Apakah yang kulakukan
ini tak berlebihan? Sampai kapan aku begini? Apakah dia akan sadar bahwa aku
begitu menyukainya?
Sejak aku menyukainya. Hariku terasa
indah. Aku sering senyam-senyum sendiri karena memikirikannya. Bahkan Aku dan
Dina, sekarang memiliki hobi baru yaitu membicarakan Hamdan. Hampir setiap hari
aku dan Dina membicarakannya. Sosoknya jangkung dan senyumannya supermanis.
Kepalaku rasanya mau meledak apabila bertemu dengannya. Wajahnya terlihat
bingung saat bertemu denganku. Itu karena aku selalu bertingkah aneh di
hadapannya. Perlahan-lahan rahasiaku diketahui oleh Hamdan. Hamdan tahu
bahwa aku menyukainya. Bahkan sekarang Hamdan mengenaliku. Kenapa rahasiaku
bisa terbongkar? Aku ceroboh. Aku bodoh. Seharusnya aku menyembunyikan perasaan
ini lebih lama lagi. Justru aku malah menunjukkan perasaanku. Tingkah lakuku
yang aneh, itu sangat terlihat bahwa aku menyukainya. Perasaanku campur-aduk
antara senang dan malu, tapi Dina justru senang dengan hal ini.
Aku menggaruk kepalaku, kebiasaanku ketika sedang bingung. Perasaanku tidak
keruan. Terus memikirkan Hamdan. Wajah ibuku terlihat gusar karena melihatku
mondar-mandir di depannya.
''Aduh'' desahku kesakitan.
''Ih, Ibu kenapa sih? Mukul kepalaku
pakai buku segala? Sakit tahu?'' protesku.
''Ibu pusing lihat kamu
mondar-mandir mulu, kenapa sih kamu?''
''Nggak apa-apa kok, Bu!'' seruku
kesal.
''Iya sudah. Kamu tidur saja, ini
sudah malam'' ucapnya.
Rasanya aku tak bersemangat untuk
pergi ke sekolah. Perasaanku masih tak keruan.
''Hmmm,'' deham Hamdan membuyarkan
lamunanku.
Perasaanku sangat senang, senyumku
menggembang. ''Apa? Hamdan berdeham? Berdeham pada siapa? Aku?,'' bisik hatiku.
Ingin sekali aku berteriak, tapi
sayangnya aku sedang berada di kantin.
Hari ini cerah tapi tak secerah
hatiku. Ada apa ini? Aku tidak tahu. Ya, mungkin ini jawabannya. Aku Tak
sengaja membaca pesan masuk dari handphone Dina. Aku sontak terkejut. Semua pesan
masuk berasal dari Hamdan. Aku membaca semuanya. Mereka begitu akrab. Hamdan
saja tidak pernah mengirimiku pesan. Kenapa? Kenapa Dina yang dikiriminya
pesan? Padahalkan dia tahu, aku yang menyukainya bukan Dina. Tak kusangka aku
begitu terluka membacanya. Rasanya pahit sekali. Aku tak bisa menyembunyikan
perasaan ini. Aku cemburu.
''Ini maksudnya apa, Din?'' tanyaku
lirih.
''Ah ... Itu, aku awalnya mau ngasih
tahu kamu,'' jawabnya polos.
''Nggak perlu, aku udah tahu kok
semuanya,'' tatapku sinis.
''Nal, aku dan Hamdan itu hanya
berteman''
Aku menghela napas dan mulai
meninggalkan Dina. Aku berusaha keras menahan air mata, tapi aku tak bisa. Aku
pergi ke kamar mandi untuk mengusap air mataku. Justru kenapa air mataku
menjadi bertambah banyak? Sesedih ini kah?
''Nal, dengarkan penjelasan aku
dulu. Ini salah paham,'' katanya di ambang pintu.
''Tinggalkan aku, Din. Aku ingin
sendiri,'' pintaku lirih.
Aku kembali ke kelas. Wajah Dina
terlihat sendu. Aku tak peduli lagi.
Semakin hari, hubunganku dan Dina
memburuk. Kami tidak pernah saling menyapa. Mengobrol pun tidak pernah. Aku
seolah-olah yang memusuhinya. Tak seperti dulu, aku sering bergurau dengannya.
Tertawa lepas dengannya. Belajar bersama pada saat pulang sekolah. Jika
mengingat hal itu hatiku sakit. Aku rindu masa-masa dulu. Aku dan Dina berteman
baik. Tak seperti sekarang ini. Aku sangat menyesal, tapi tetap saja aku
masih kesal pada Dina. Lama-kelamaan aku melupakan permasalahku dengan
Dina. Seolah-olah masalah itu tak pernah ada. Sekarang, perasaanku membaik. Aku
bersyukur ternyata masih ada yang peduli padaku yaitu Lisa. Lisa adalah teman
baikku saat ini. Lisa memang sangat baik padaku, tapi tidak seperti Dina. Aku
lebih terbuka bila dekat Dina.
Hari ini pelajaran biologi.
Kebetulan aku sekelompok dengan Dina. Aku membeku. Tak bisa berkata apa-apa.
Kami canggung untuk memulai sebuah percakapan, tapi dengan terpaksa aku
mengobrol dengan Dina. Demi kerja sama tim yang baik. Memang setelah aku dan
Dina bermusuhan, aku tak pernah melihat wajah Dina tersenyum. Wajahnya sendu
dan pucat. Apakah dia sedang sakit?
Hujan deras. Terpaksa aku menunggu
hujan agak reda. Seperti biasa aku datang terlambat, tapi untung saja gurunya
belum datang. Hari ini ada yang berbeda. Ada sesuatu yang kurang di kelas ini.
Apa? Apa yang kurang?. Dina tak masuk sekolah hari ini. Dia pasti sakit.
Terlihat dari wajahnya yang pucat kemarin. Paling sakitnya cuma sehari saja.
Besok juga pasti dia masuk sekolah.
''kamu nggak ngejengguk Dina, Nal?''
tanya Hamdan malu-malu.
Aku menggeleng. Hatiku sakit
mendengarnya. Aku tahu Hamdan menyukai Dina. Baru saja sehari sakit,
sudah menjengguk. Perhatian sekali. Seharusnya aku tak boleh seperti ini. Dina
kan sedang sakit? Aku hanya bisa berdoa. Tuhan sembuhkanlah Dina.
Sudah 5 hari Dina tak masuk sekolah.
Aku dengar-dengar, Dina dirawat di rumah sakit. Aku belum menjengguknya. Apa
aku harus menjengguknya?
''Nal......''
Ada seorang pria yang memanggilku.
Aku sontak menoleh, ternyata itu Hamdan. Aku senang dia memanggilku. Pasti dia
memanggilku karena butuh sesuatu.
''Nal, kamu ada masalah ya sama
Dina?'' tanyanya ragu-ragu.
''Nggak ada,'' jawabku ketus.
Dina lagi, Dina lagi. Hamdan sungguh
perhatian pada Dina.
''Nal, sekarang Dina lagi sakit!''
jelasnya lirih.
''Terus?''
''Dina mau kamu baca ini,''
pintanya.
Aku sedang membaca buku harian Dina.
Dina menuliskan banyak hal di sini. Dari pertama kali masuk X-1 dan berteman
baik denganku. Aku sedih membacanya. Aku berusaha menahan tangis. Lalu,
aku membaca buku harian Dina sampai akhir. Dilembaran terakhir, Dina meminta
maaf padaku tentang permasalahan Hamdan beberapa bulan lalu. Dan di sini
dijelaskan bahwa sebenarnya Hamdan menyukaiku. Hamdan sering cerita tentangku
pada Dina. Aku membeku. Aku sadar, aku telah salah paham pada Dina. Aku lamban
untuk mengerti semua ini. Aku yang salah. Dina maafkan aku. Aku tak bisa
menahan tangisku. Aku bergegas pergi ke rumah sakit bersama Hamdan.
''Din, maafin aku,'' pintaku dengan
suara yang parau.
''Iya aku maafin kamu kok, kita kan
teman baik,'' jawabnya dengan lembut.
''Aku jahat sama kamu, Din. Masa
kamu maafin aku sih?'' tanyaku lirih.
''Nggak apa-apa kok, Nal''
Aku sangat terenyuh mendengar perkataan Dina. Dina memaafkanku? Dia sangat baik
sekali. Seharusnya dari dulu aku bersyukur karena memilki teman yang baik
seperti Dina.
''Dan, bukannya kamu suka sama Kinal
ya?,'' tanya Dina. Aku terkejut ketika Dina membahas ini. Sempat-sempatnya dia
bertanya seperti itu dikeadaan seperti ini. Pipiku dan pipi Hamdan sama-sama
memerah. Kami malu.
''Ng....... Ya! sebernarnya aku suka
sama kamu, Nal'' jelasnya malu-malu.
''Aku juga'' jawabku spontan.
Sekarang kami resmi berpacaran. Aku
dan Dina berteman baik seperti dulu. Dan sekarang kami tertawa bersama-sama lagi.
Comments
Post a Comment